Judul Buku : Antara Kabut dan Tanah Basah:
Perjalanan Tujuh Tingkat Kesadaran Jiwa
Pengarang : B. B. Triatmoko, SJ
Penerbit : Kanisius
Tahun Terbit : 2005
ISBN : 979-21-1105-0
Tebal Buku : 194 halaman
Buku ini ditulis oleh B. B. Triatmoko, SJ, seorang imam yang ditahbiskan pada tahun 1994 dan telah mengecap berbagai disiplin ilmu, mencakup bidang filsafat, teologi (Loyola School of Theology, Manila, MA 1995), teknik manufaktur (Tufts University, Boston), computer science (Harvard University Ext.), dan manajemen bisnis (Caroll School of Management, Boston College, MBA 1998). Beberapa karya, buah tangan beliau, yang pernah diterbitkan: (1993) Tanjung Priok, Dahulu, Kini dan Esok yang memenangkan juara III nasional tingkat SLTA; (1984) Mata Ganti Mata, Dunia Akan Buta yang merupakan naskah drama radio, direkam oleh Delegatus Komunikasi Sosial, Keuskupan Agung Semarang; (1998) Bunga Rampai Filsafat Driyarkara diterbitkan dalam perayaan 25 tahun STF Driyarkara, Jakarta; (2005) Antara Kabut dan Tanah Basah yang merupakan refleksi kehidupan dalam bentuk novel wayang.
Buku ini mengantar kita untuk menyelami kehidupan manusia yang mencari kesadaran tentang jati dirinya, melalui perjalanan tujuh tingkat kesadaran manusia, yang tertuang dalam 7 bab, yaitu Tingkat Pertama: Permurnian Budi-Kerinduan Terdalam; Tingkat Kedua: Pemurnian Rasa; Tingkat Ketiga: Pemurnian Hati; Tingkat Keempat: Keheningan Jiwa; Tingkat Kelima: Kebebasan Batin; Tingkat Keenam: Pengorbanan Diri-Kedamaian Sejati; dan Tingkat Ketujuh: Pencerahan.
Tingkat Pertama: Pemurnian Budi-Kerinduan Terdalam. Seorang tokoh, yaitu Dewabrata, yang adalah anak raja, anak dari Prabu Sentanu, dibelenggu keinginannya sendiri, mengapa ia dilahirkan sebagai seorang anak raja, dan bukan sebagai anak petani dewasa dan untuk apa dia dilahirkan di dunia ini. Dalam semadinya mencari petunjuk tentang kerinduan hatinya, Dewabrata melihat seorang wanita cantik yang duduk bersila dan di tangan kirinya ada sekuntum bunga utpala biru muda. Wanita ini memperkenalkan diri sebagai Tara, Dewi Bumi, dan memberi petunjuk kepada Dewabrata untuk menemukan tempat kediamannya, sebagai jawaban atas kerinduan hati Dewabrata.
Dewabrata mengambil langkah pertama untuk menemukan tempat kediaman Tara, Dewi Bumi, dengan meninggalkan negeri Astinapura. Dia pernah mendengar bahwa di timur hidup seorang brahmana sakti bernama Rama Bargawa. Dia percaya bahwa hanya brahmana itulah yang bisa membantunya menemukan tempat tumbuhnya bunga utpala berwarna biru muda. Setelah setengah hari perjalanan, Dewabrata beristirahat dan bersemadi. Dalam semadinya, Dewabrata melihat tempat tinggal Dewi Bumi, ibu semua orang yang mencari kebenaran. Namun, terdapat jurang yang menganga lebar, yang memisahkan tempat itu dengan tempat Dewabrata berdiri. Tidak ada jalan menuju kesana, kecuali dengan mendekatkan dua tebing, yaitu dengan kekuatan jiwa. Kekuatan jiwa yang dapat menggerakkan tebing padas untuk membawa Dewabrata ke tempat tujuan hidupnya adalah Cinta. Tetapi karena Dewabrata belum mengenal apa itu cinta, sulit bagi Dewabrata untuk membangkitkan rasa cinta di hatinya. Kemudian, Dewabrata terjaga dari semadinya.
Dari balik kerimbunan pepohonan, tempat Dewabrata bersemadi, terdengar suara gadis melantunkan lagu berirama gembira. Dan sebentar kemudian pemilik suara muncul di hadapan Dewabrata. Gadis tersebut adalah Dewi Amba. Pertemuan pertama dengan Dewi Amba ini rupanya memperkenalkan cinta kepada Dewabrata dan mengantar Dewabrata ke Negeri Giyantipura, dimana Dewabrata dapat bertemu dengan Rama Bargawa.
Tingkat Kedua: Pemurnian Rasa. Dewabrata bertemu dengan Rama Bargawa di Padang Kurusetra, Negeri Giyantipura. Rama Bargawa berdiri dengan kapak besar berlumuran darah para ksatria yang dibunuhnya. Kekecewaan Rama Bargawa pada sepak terjang ksatria yang sewenang-wenang, ditambah rasa duka yang dalam karena kehilangan orang-orang yang dicintainya, membuatnya bersumpah akan menghabisi semua ksatria. Saat itulah Dewabrata datang dan tak segan Rama Bargawa mengajaknya bertempur sampai mati. Namun, karena perkataan lembut Dewabrata tentang hati dan kehidupan, Rama Bargawa luluh, tidak dapat membunuh Dewabrata. Kemudian Dewabrata menceritakan maksud hatinya mencari bunga utpala kepada Rama Bargawa dan meminta Rama Bargawa untuk menjadi gurunya. Rama bargawa menyanggupi Dewabrata menjadi muridnya dan menunggunya di pertapaan Giriseta. Keinginan yang kuat untuk mencari jawaban atas kerinduan hatinya membuat Dewabrata meninggalkan gadis yang dicintainya, Dewi Amba, dengan janji akan kembali setelah menemukan bunga utpala.
Tingkat Ketiga: Pemurnian Hati. Dewabrata memacu kuda putihnya ke pertapaan Giriseta. Dalam perjalanannya, Dewabrata melihat seorang petani menarik-narik tangan seorang gadis yang meronta-ronta ingin melepaskan diri. Dewabrata turun dari kudanya, menghampiri mereka, dan menanyakan masalah yang dihadapi, dengan maksud Dewabrata ingin membantu. Gadis yang bersama petani itu adalah anak perempuan dari petani, namanya Wulandari. Wulandari diingini oleh Bupati Danurejo, yang tua dan mata keranjang, untuk dijadikan selir. Bapak petani kalah berjudi dengan kaki tangan Bupati Danurejo dan sebagai bayarannya adalah Wulandari menjadi selir Bupati tersebut. Semula, Dewabrata tidak mau mencampuri urusan keluarga petani itu. Namun, melihat kesedihan dan kebingungan gadis malang itu, dia merasa tidak tega untuk meninggalkan mereka begitu saja. Malam itu, Dewabrata menginap bersama bapak petani dan Wulandari. Di malam itu juga, kaki tangan Bupati Danurejo mengepung bapak petani dan Wulandari, hendak mengambil Wulandari untuk diberikan kepada Bupati Danurejo. Dengan kesaktian Dewabrata, kaki tangan Bupati Danurejo berhasil dilumpuhkan. Kemudian Dewabrata bersama dengan Wulandari pergi ke Istana Bupati Danurejo untuk membuat perhitungan. Bupati mata keranjang tersebut mendapat imbas dari perbuatannya sendiri. Dewabrata mengacaubalaukan istananya dan membuatnya bertekuk lutut serta bertobat.
Pertobatan Bupati Danurejo mengakhiri masalah Wulandari. Wulandari yang terpikat cinta pada Dewabrata, diangkat menjadi prajurit Kerajaan Astinapura oleh Dewabrata. Dewabrata menyadari bakat dan kelebihan yang dimiliki Wulandari dalam berperang. Seandainya Dewabrata belum berjumpa dengan Dewi Amba, mudah pula baginya untuk jatuh cinta pada Wulandari. Bagi Wulandari, cinta di hatinya diubah menjadi rasa hormat begitu mengetahui siapa sebenarnya Dewabrata. Selanjutnya, Dewabrata melanjutkan perjalanannya ke pertapaan Girisetra.
Tingkat keempat: Keheningan Jiwa. Dewabrata sampai di pertapaan Girisetra. Dengan penuh ketekunan, Dewabrata menjalankan latihan-latihan keras di bawah bimbingan Rama Bargawa. Dia berlatih untuk mengendalikan panca indranya dengan kekuatan pikirannya. Di akhir latihan, Rama Bargawa memperlihatkan kepada Dewabrata, bunga utpala berwarna biru muda yang telah didapatkannya. Dewabrata pun diijinkan mencicipi khasiat bunga utpala, yaitu bunga cinta kasih, dengan meletakkan bunga utpala tersebut dilidahnya. Rasanya tawar, namun tenaga suci bunga utpala membersihkan tubuh dan jiwa, serta dapat menyembuhkan luka batin. Kemudian, Dewabrata menyadari bahwa di tempat kediaman Dewi Bumi, ada puluhan bunga seperti itu yang dapat menyembuhkan luka hati seluruh umat manusia. Setelah undur diri dari gurunya, Rama Bargawa, Dewabrata bergegas menuju Giyantipura, hendak menemui Dewi Amba. Yang tidak diketahui Dewabrata, Dewi Amba sudah tidak sama dengan yang dulu lagi.
Tingkat kelima: Kebebasan Batin. Dalam penantiannya di Negeri Giyantipura, Dewi Amba dihasut oleh kata-kata Bupati Danurejo, yang mengatakan bahwa Dewabrata telah berhubungan dengan gadis lain, yaitu Wulandari. Di samping itu, Bupati Danurejo memperkenalkan Dewi Amba pada Prabu Citramuka dari Kerajaan Sobalapura. Bupati Danurejo hendak mengambil keuntungan pribadi dengan menyatukan Dewi Amba dari Kerajaan Giyantipura dan Prabu Citramuka dari Kerajaan Sobalapura. Sementara itu, hati Dewi Amba hancur mendengar kabar dari Bupati Danurejo bahwa Dewabrata yang selalu dirindukannya tidak memegang janjinya. Akhirnya Dewi Amba memutuskan untuk bertunangan dengan Prabu Citramuka, yang menemaninya selama hari-hari sedihnya.
Ketika Dewabrata sampai di Kerajaan Giyantipura dan mengetahui bahwa Dewi Amba telah bertunangan dengan orang lain, kedukaan yang dalam meliputi Dewabrata. Dewabrata melihat sinar mata yang memancarkan kebahagiaan yang tulus dan murni dari Dewi Amba. Dewabrata tidak sampai hati merusak kebahagiaan itu. Akhirnya, Dewabrata memacu kudanya pulang ke Kerajaan Astinapura.
Tingkat Keenam: Pengorbanan Diri-Kedamaian Sejati. Ketika tiba di pintu gerbang istana, para penjaga bersorak mengumumkan kedatangan Dewabrata. Dewabrata memang amat dikenal dan dicintai oleh rakyatnya. Di antara mereka yang menyambut kedatangan Dewabrata, tidak ada yang lebih gembira daripada seorang prajurit wanita, Wulandari.
Namun, ada seorang yang justru tidak senang melihat kepulangan Dewabrata, yaitu ibu tiri Dewabrata, Dewi Durgandini. Baru berjumpa dengan Dewabrata, Dewi Durgandini membicarakan persoalan takhta, bahwa Prabu Sentanu telah mewariskan tahta Astinapura kepada Citra Sena, anak dari Dewi Durgandini, bukan kepada Dewabrata. Bukan hanya itu, Dewi Durgandini juga menuntut lebih agar keturunan Dewabrata tidak menuntut hak atas tahta. Mendengar hal itu, Dewabrata mengucap sumpah tidak akan menyentuh wanita seumur hidupnya, sehingga tidak ada keturunannya yang bisa menuntut tahta Kerajaan Astinapura. Karena sumpah dan ketulusan hatinya tersebut, dewata mengaruniai kesaktian untuk memilih kapan dan bagaimana Dewabrata mengakhiri kehidupannya.
Tingkat Ketujuh: Pencerahan. Dewabrata mengangkat Wulandari menjadi adiknya. Wulandari menerima pusaka sebuah gandewa dan anak panahnya. Dengan pusaka tersebut, Wulandari berjanji membantu Dewabrata menemukan bunga utpala.
Sementara itu, Bupati Danurejo, yang sekarang telah menjadi Patih di Kerajaan Sobalapura karena akal liciknya, mengadu domba Giyantipura dan Sobalapura melawan Astinapura. Namun, akal liciknya diketahui oleh Wulandari. Meskipun demikian, pertempuran Giyantipura dan Sobalapura tidak bisa dielakkan. Dalam pertempuran ini, Dewabrata bertemu dengan Dewi Amba. Dari pertemuan ini, Dewi Amba mengetahui hal yang sebenarnya terjadi antara Dewabrata dan Wulandari. Dewi Amba terisak antara haru dan rasa berdosa. Dewi Amba masih mencintai Dewabrata.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Dewabrata menitikkan air mata. Dia tidak menyesali apa yang terjadi. Dia hanya merasa bahwa kehidupan telah mempermainkannya secara tidak adil. Dewabrata membiarkan keris yang dilemparkan ke arah dadanya oleh Patih Danurejo. Kali ini kematian adalah kehendaknya. Namun, Wulandari meloncat dan menghadang keris itu dengan tubuhnya. Pada saat bersamaan, Rama Bargawa, dengan kapak saktinya, membelah tubuh Patih Danurejo.
Wulandari menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuan Dewabrata. Tiba-tiba halilintar menggelegar disertai gemuruh membahana. Tubuh Wulandari terangkat perlahan mengikuti cahaya yang turun dari langit terbuka. Mendadak Wulandari lenyap dan berganti dengan Dewi Bumi yang tersenyum kepada Dewabrata sambil memberikan serumpun bunga utpala.
Barulah terbuka mata hati Dewabrata. Wulandari sebenarnya adalah penjelmaan Dewi Bumi yang dicarinya. Dia mengira bahwa dirinyalah yang mencari Cinta, tetapi ternyata Cinta itu berada dekat dengan dirinya. Bukan dia yang mencari, tetapi Cinta itulah yang menuntunnya untuk menemukannya. Hal 192-193.
Dewi Amba melanjutkan perjalanan ke Sobalapura. Hancur hatinya, Dewabrata tidak mau melepas sumpahnya. Setiba di Sobalapura, Prabu Citramuka menolaknya, karena hati Dewi Amba sudah tidak lagi untuknya. Dalam kesedihannya, Dewi Amba mengakhiri hidupnya sendiri. Dewabrata melanjutkan hidup sebagai ksatria-brahmana.
Kelak dalam perang agung Bharata Yudha, dia bertemu kembali dengan roh Dewi Amba dalam diri seorang pendekar wanita bernama Dewi Srikandi yang pandai memanah seperti Wulandari. Kepada Srikandi dia menyerahkan dirinya dan gugur di ujung anak panahnya. Sebelum menutup mata, dia menyaksikan bahwa kebenaran menang atas keserakahan, kedamaian menyelimuti bumi. Dia mati bahagia.
B. B. Triatmoko memperlihatkan bahwa Dewabrata adalah manusia biasa yang mengalami kemalangan cinta, begitu pula dengan Dewi Amba. Buku ini menarik, karena membawa kita untuk realistis menerima bahwa kemalangan adalah bagian dari cinta. Buku ini disajikan dengan pilihan kata yang bermakna dalam, mengundang orang untuk melihat ke dalam dirinya sendiri, bagaimana perjalanan hidupnya, dan apa tujuan hidupnya di dunia ini. Ilustrasi yang digambarkan dalam buku ini juga menarik sehingga pembaca tidak bosan dalam membaca.
Pustaka:
Sumber utama:
1. B. B. Triatmoko, SJ, Antara Kabut dan Tanah Basah: Perjalanan Tujuh Tingkat Kesadaran Jiwa, Kanisius, Yogyakarta, 2005.